Tabayyun dan Urgensinya Bagi Aktifis Dakwah

Pengertian Tabayun
Kata tabayun berasal akar kata bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang berarti at-tastabbut fil-amr wat-ta’annî fih (meneliti kebenaran sesuatu dan tidak tergesa-gesa di dalamnya). Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (An-Nisâ: 94).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa tabayun berarti pemahaman atau penjelasan. Dengan demikian, tabayun adalah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.

Syekh Muhammad Sayyid ath-Thantawi mengartikan tabayun sebagai ketidaktergesaan dan kesabaran dalam semua hal sehingga mengetahui kebenaran yang disampaikan oleh orang fasik.
Menurut al-Kafawi dalam al-Kuliyyât, tabayun merupakan salah satu tingkatan dalam penalaran. Ia menyatakan bahwa sebuah ilmu dapat mencapai otak (pemahaman) melalui beberapa tingkatan: asy-syu`ûr (rasa), al-idrâk (tahu), al-hifzh (hapal), at-tadzakkur (ingat), ar-ra’y (pendapat), at-tabayyun (tahu setelah ragu) dan al-istibshar (tahu setelah berfikir).

Tabayun dalam Nash-nash Syar`i
Kata tabayun dalam teks-teks syar`i –Alquran dan Sunnah—memiliki makna yang berdekatan dengan makna bahasa (etimologi):
1. Tabayun dalam Alquran. Kata tabayun dan derivasinya disebutkan sebanyak kurang lebih 17 kali yang berkisar pada makna menjadi jelas dan carilah kejelasan. Hanya saja, bentuk kata yang disebutkan adalah berupa kata kerja (fi`il) bukan kata benda atau sifat. Contoh penyebutan kata tabayun dalam Alquran adalah firman Allah, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata (tabayyana) bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109).
Dan firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan (latubayyinunnahu) isi kitab itu kepada manusia.” (Âli Imrân: 187).

2. Tabayun dalam Sunnah. Tabayun dalam Sunnah memiliki makna yang sama seperti dalam Alquran. Misalnya sabda Rasulullah saw., “

إِذَا زَنَتْ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا
“Jika seorang budak perempuan berzina dan terbukti (menjadi jelas) perbuatannya itu, maka cambuklah dia.” (HR. Bukhari).

Urgensi dan Keutamaan Tabayun
Tabayun merupakan salah satu sikap yang sangat penting untuk selalu dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak pertikaian dan perselisihan baik dalam skala terkecil, seperti antar dua orang individu, hingga skala terbesar, seperti peperangan global, disebabkan oleh tuduhan-tuduhan tidak benar atau pemahaman keliru dalam membaca sikap pihak lain.

Di dalam Alquran, perintah melakukan tabayun secara eksplisit dinyatakan oleh Allah di dua tempat dalam Alquran, yaitu dalam surah an-Nisâ’ ayat 94 dan surah al-Hujurât ayat 6.
1. Perintah tabayun dalam surah an-Nisâ ayat 94. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum muslimin yang melakukan jihad di jalan Allah agar tidak tergesa-gesa dalam menyerang lawannya hingga benar-benar telah jelas dan terbukti bahwa mereka adalah orang kafir dan layak untuk diperangi. Bahkan, Allah melarang membunuh seseorang yang mengaku beriman hanya karena kaum muslimin meragukan pengakuannya tersebut.

2. Perintah tabayun dalam surah al-Hujurât ayat 6. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar seseorang tidak bersegera membenarkan berita yang dibawa oleh seorang fasik hingga ia benar-benar meneliti dan mengecek kebenarannya.
Bagi seorang dai atau aktifis dakwah sifat tabayun mutlak diperlukan agar semua tindakannya tidak terjebak pada penilaian buta dan serampangan yang hanya akan menjerumuskan dia dalam kemaksiatan yang sangat besar kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu tidak lain karena seluruh ucapan dan tindakannya akan menjadi contoh oleh masyarakat, sehingga jika penilaiannya yang buruk dan salah itu tersebar maka ia akan menanggung seluruh beban dosa akibat perbuatannya tersebut.
Selain urgensitas di atas, tabayun juga memiliki beberapa keutamaan lain, diantaranya adalah:

1. Menjaga jiwa dan harta manusia.
2. Petanda kematangan akal dan cara berfikir.
3. Menjaga kehormatan dan ketentraman masyarakat dari keputusan yang tergesa-gesa dan tanpa didasarkan pada studi dan penelitian.
4. Menumbuhkan rasa percaya diri.
5. Menjauhkan keraguan serta bisikan dan tipu daya setan.
6. Mengokohkan bangunan sistem amal jama`i.

Penghalang Tabayun
Meskipun begitu penting nilai tabayun dalam diri seseorang tapi masih saja kita sering menemukan kebusukan yang tercium dari mulut yang tergesa-gesa dan tidak mencermati informasi yang datang dari sumber yang bersih dan valid. Di dalam Alquran, setelah menjelaskan pentingnya bertabayun dari berita yang diterima dari orang fasik, Allah `azza wa jalla lalu memperingatkan kaum muslimin dengan berbagai sifat buruk yang diakibatkan oleh informasi sampah itu. Sikap-sikap negatif tersebut dibagi menjadi dua: sifat tercela yang diungkapkan secara terang-terangan di hadapan orang yang dicela --yaitu as-sukhriyyah (mengolok-olok) dan at-tanâbuz bil-alqâb (memanggil dengan gelar yang buruk)—dan sifat tercela yang diungkapkan di belakang orang yang dicela –yaitu sû’uz-zhann (berprasangka buruk), at-tajassus (mencari-cari kesalahan) dan al-ghîbah (menggunjing)--.

Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak melakukan tabayun dan klarifikasi, diantaranya adalah sikap egois dan merasa sudah memahami berita dengan benar, sombong dan merasa lebih tinggi dari sumber klarifikasi, malas untuk mencari kebenaran dan lain sebagainya. Namun, ada sifat lain yang kadang menghalangi seseorang yang aktif dalam dunia dakwah untuk melakukan tabayun, yaitu rasa `athifiyyah (emosionalitas) terhadap sesama aktifis dakwah.

Seorang aktifis dakwah sudah barang tentu akan memiliki rasa emosionalitas yang lebih terhadap saudaranya sesama aktifis dakwah dibandingkan dengan orang lain di luar dunia dakwahnya. Meskipun hal ini sangat penting dan perlu terus ditumbuhkan hanya saja jangan sampai hal itu membuatnya menjadi buta dan menerima begitu saja semua informasi yang diterima dari saudaranya tersebut. Sikap berlebihan inilah yang tidak jarang mengakibatkan sikap tabayun itu menjadi tersisihkan bahkan kadang hilang sama sekali, sehingga ia akan menerima apapun jenis informasi yang diterima dari sesama aktifis tanpa memfilter, mengkros-cek dan menimbang lebih dalam. Namun, ini tidak berarti kita tidak perlu membedakan antara informasi yang diterima dari sesama aktifis dan informasi yang diterima dari luar. Justru, kita tetap menilai bahwa informasi dari sesama aktifis dakwah tentu memiliki nilai kepercayaan lebih tinggi, tapi hal itu tidak boleh dijadikan sebagai harga mati dan kepercayaan buta sehingga menutup pintu untuk melakukan tabayun.

Sebagai contoh, dalam perang Hunain (8 H), Rasulullah saw. memberikan para pembesar Quraisy ghanimah yang sangat banyak tapi tidak memberi sedikit pun untuk kaum Anshar. Karena cukup kecewa dengan pembagian itu, maka mereka meminta Sa`ad bin Ubadah untuk bertanya kepada beliau. Beliau lalu berkata kepadanya, “Bagaimana sikapmu, wahai Sa`ad?” Ia menjawab, “Aku bersama mereka, wahai Rasulullah.” Lalu beliau menyuruh Sa`ad untuk mengumpulkan seluruh kaumnya. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata, “Wahai Anshar, apakah kalian tidak rela membiarkan mereka pulang dengan seluruh ghanimah itu sementara kalian pulang dengan membawa Rasulullah?” Mendengar itu mereka menangis dan menjadi rela dengan semua keputusan beliau. Dalam kisah ini, terlihat bahwa Rasulullah saw. tetap mencari informasi ke sumbernya meskipun beliau telah mendapatkan sebagian informasi itu dari Sa`ad yang merupakan salah seorang sahabat terbaiknya serta merupakan pembesar kaum Anshar dan bagian dari pihak yang merasa kecewa. Di sini, Rasulullah saw. ingin memberikan pelajaran berharga agar kita tidak tergesa-gesa dalam memberikan keputusan demi menjaga keutuhan umat.

Tabayun dalam Kerangka Dakwah
Kehidupan berdakwah merupakan sebuah wilayah interaksi yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kehidupan umum dalam masyarakat. Seorang aktifis akan diikat dengan nilai dan etika tambahan yang dituntut untuk dipatuhi berkaitan dalam kerangka hak dan kewajibannya dalam gerakan itu. Baik qaid maupun jundi memiliki jalinan kuat yang saling mengisi dan melengkapi. Di dalam surah al-Hujurât, Allah SWT secara gamblang menjelaskan hubungan-hubungan itu.

Menurut as-syahid Sayyid Qutub, nidâ’ (seruan) pertama dalam surah al-Hujurât adalah perintah untuk menjadikan qiyadah sebagi sumber petunjuk dan perintah. Kemudian, seruan kedua dalam surah itu merupakan perintah untuk mengikuti adab dan tata cara berinteraksi dengan qiyadah. Sedangkan dalam seruan ketiga, Allah ingin mengajarkan bagaimana cara menerima dan mengambil sebuah informasi, yaitu dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam penerimaan info tersebut. Karena tidak semua berita datang dari sumber yang valid.

Tabayun adalah salah satu instrumen dakwah terbaik dalam menjaga persatuan dan terlaksananya amal jam’i secara utuh demi tercapainya kemakmuran umat dalam naungan ridha Allah. Oleh karena itu, memiliki sifat ini adalah sebuah keniscayaan dan keharusan bagi seorang aktifis dakwah. Dengan tabayun, kita akan diajarkan bagaimana bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menghukumi sebuah persoalan tertentu. Kita pun akan dididik untuk membiasakan meminta pendapat dan nasehat dari rekan atau qiyadah dalam kerangka menjaga keutuhan jamaah.

Selain itu, ada hal yang sangat penting yang dapat dipetik oleh aktifis dakwah jika benar-benar mempraktekkan nilai-nilai tabayun ini, yaitu ats-tsiqah bil-qiyâdah wal jamâ`ah (yakin dengan keputusan qiyadah dan jamaah) terutama dalam era keterbukaan saat ini. Informasi bisa datang dari berbagai sumber bahkan terlihat “berserakan” dimana-mana. Disinilah aktifis dakwah sejati dituntut menunjukkan kematangannya dalam tarbiyah. Seorang jundi tarbawi harus mampu mesterilisasi dan memastikan kebenaran sebuah informasi sebelum keluar dari mulut dan hatinya yang bersih yang kemudian akan dikonsumsi oleh orang lain. Jika ia mendapati sebuah berita miring tentang jamaahnya maka sikap pertama yang harus dilakukan adalah husnuzzhan, lalu diikuti dengan tabayun kepada sumber dan kanal informasi yang bersih dan terpercaya.

Seorang aktifis dakwah harus berusaha untuk bersikap tabayun dalam berbagai hal apalagi jika informasi yang ia miliki tentang permasalahan tertentu masih sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Ini untuk menjaga keutuhan jamaah dan menjaga perjalanan dakwah hingga mencapai tujuannya. Selain itu, sikap tabayun dapat menjaga keutuhan kaum muslimin secara umum dan menjauhkan mereka dari pertikaian serta perselisihan yang hanya akan membuat tubuh umat Islam semakin lemah. Sikap tabayun sangat diperlukan terutama di masa modern saat ini yang telah berkembang di dalamnya sarana telekomunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia berubah menjadi sebuah desa yang kecil dengan begitu cepatnya tersebarnya sebuah informasi ke seluruh elemen masyarakat.

Dengan demikian, tabayun merupakan salah satu sifat dan karakter penting bagi aktifis dakwah dan tarbiyah. Ia harus mampu memindahkan nilai-nilai tabayun dari ranah verbal ke ranah amalan nyata. Amal jama’i yang kita bangun bersama tidak dapat berjalan mulus bahkan mungkin dapat hancur berkeping-keping jika seorang aktifis dakwah tidak berhati-hati dan melakukan tabayun dalam semua urusannya. Pengelolaan informasi yang baik akan menciptakan struktur jamaah yang kuat dan menghasilkan pribadi-pribadi dakwah yang bersih dan saleh. Hadânallahu wa iyyakum ajma`în.

Read More......

Buat Apa Berkerudung Kalau Kelakuan Rusak; Benarkah???

Perempuan yang baik adalah yang bagus agamanya

Perempuan yang baik adalah yang bagus agamanya, yang dimaksud ‘agamanya’ adalah agama dalam hati bukan dalam penampilan. Pertanyaan, “Berarti lebih bagus perempuan tidak berkerudung tapi baik kelakuannya (beragama) daripada perempuan berkerudung yang tidak beragama (tidak baik kelakuannya)? Jawab: “Yang lebih bagus adalah perempuan yang berkerudung dan beragama sekaligus.”
“Kenapa?”
Realitas memerlihatkan kepada kita bahwa perempuan berkerudung lebih banyak yang beragama ketimbang perempuan yang tidak memakai kerudung.

Jika ada perempuan tak memakai kerudung tapi beragama(berakhlak), maka itu adalah pengecualian dari perempuan-perempuan tak berkerudung yang rata-rata kurang berakhlak.

Begitu pula jika ada perempuan berkerudung tapi tidak/kurang beragama, maka itu adalah pengecualian dari perempuan-perempuan berkerudung yang rata-rata beragama.

Kerudung adalah setengah petunjuk kalau wanita yang memakai kerudung tersebut adalah wanita beragama, setengahnya lagi adalah hati atau perilaku kesehariannya.

Bila perilaku keseharian seorang wanita muslimah sudah bagus namun belum berkerudung, segera lengkapi dengan kerudung, agar setengahnya terlengkapi dan menjadi sempurna. Begitu pula jika seorang wanita muslimah sudah berkerudung, namun akhlak atau perilaku kesehariannya masih tidak baik, segera lengkapi dengan akhlak yang baik, agar setengahnya terlengkapi dan menjadi sempurna.

Jadi, jangan ada lagi orang yang berkata “Buat apa berkerudung kalau kelakuan seperti wanita tak beragama(tidak baik), lebih baik tidak berkerudung!!”

Pernyataan itu keliru karena beberapa alasan:

Pertama: Alasan Syar’i
Pernyataan tersebut sama dengan menyeru perempuan untuk melanggar apa yang telah Allah perintahkan kepada wanita muslimah. Di dalam Al-Quran Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya:
33.59. “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kedua: Alasan Logis
Dikatakan sebelumnya bahwa wanita muslimah yang baik akhlaknya namun tak berkerudung baru setengahnya menunjukan kalau wanita tersebut beragama, karena setengahnya lagi adalah kerudung, berarti wanita yang tidak baik kelakuannya dan tidak berkerudung, tidak setengah pun menunjukan bahwa wanita tersebut beragama. Maka, bukankah ini lebih parah nilainya di mata agama? Oleh karena itulah pernyataan di atas tidak menjadi solusi yang tepat.

Solusi yang Tepat
Bagi wanita muslimah yang sudah berkerudung dan merasa kalau akhlak atau perilakunya masih jauh dari akhlak seorang wanita muslimah yang sebenarnya, tidak perlu terhasut dengan pernyataan “Buat apa pakai kerudung, kalau…. dst” lantas melepas kerudungnya karena malu.

Solusi yang bijak adalah, biarkan kerudung itu tetap melekat bersamanya sembari berusaha untuk terus mengadakan perbaikan akhlak atau perilakunya.

Pernyataan Lain
“Kerudungi hati dulu, baru kerudungi penampilan”. Jika pernyataan ini memang pernah terlontar dan pernah ada, alangkah bijak jika pernyataan ini kita rubah “Mengerudungi hati tak kalah penting dari mengerudungi penampilan”.

Tentang pernyataan pertama, dikarenakan perbaikan akhlak adalah proses berkesinambungan seumur hidup yang jelas bukan instan, dan dikarenakan tak ada yang dapat menjamin bagaimana dan seperti apa hari esok dalam kehidupan kita? Masih di atas bumi kah atau di dalam perutnya? Masih memijak kah atau dipijak? Maka menunda berkerudung dengan alasan memerbaiki akhlak dulu adalah sesuatu yang tidak semestinya dilakukan oleh wanita muslimah mana pun.

Adapun pernyataan kedua, memang demikian lah adanya, bacalah Al-Quran dan tadabburi maknanya, maka kita temukan bahwa hampir setiap kali Allah berfirman tentang wanita muslimah yang baik(beragama), isinya adalah tentang “Bagaimana seharusnya wanita muslimah itu berperilaku?” selebihnya adalah tentang “Bagaimana seharusnya wanita muslimah itu berpenampilan?”. Jika berkenan bacalah QS. An-Nur ayat 31, At-Tahrim ayat 5, 10, 11 dan 12, dan seterusnya.

Pernyataan berikutnya adalah:
“Kerudung itu bukan inti dari Islam!” Ya, saya pribadi setuju, memang bukan inti dari islam, tapi bagian penting dari Islam yang jika bagian itu tidak ada, maka terlalu sulit untuk dikatakan “Ini Islam” sama sulitnya untuk dikatakan “Ini bukan Islam”.

Dikatakan wanita muslimah sulit karena tidak pernah mau pakai kerudung, dikatakan bukan wanita muslimah juga sulit, karena salat, zakat dan ibadah-ibadah lainnya tetap dikerjakan, juga akhlaknya adalah akhlak wanita muslimah.

Kalau saya ibaratkan, hal ini seperti bangunan rumah yang tak nampak seperti rumah, namun lebih tampak seperti gudang; berjendela tanpa kaca, tanpa lantai ubin, dan tanpa atap dan seterusnya.

Dikatakan rumah sulit, karena dari luar hampir tak dapat dibedakan dengan gudang. Dikatakan bukan rumah juga sulit, karena ternyata penghuninya lengkap, pasangan suami isteri dan satu anak lelaki.

Jendela berkaca, pintu, atap, dan lantai ubin memang bukan bagian inti dari rumah, tapi tanpa adanya semua itu, sebuah bangunan akan kehilangan identitasnya sebagai rumah, konsekuensinya, orang-orang akan menyangka kalau bangunan tersebut adalah gudang tak berpenghuni.

Kerudung atau jilbab adalah identitas seorang muslimah (wanita beragama islam). Kerudung lah yang memberi isyarat kepada lelaki-lelaki muslim bahkan semua lelaki bahwa yang mengenakannya adalah wanita terhormat, sehingga sangat tidak pantas direndahkan dalam pandangan mereka, kata-kata mereka, maupun perbuatan mereka (para lelaki).

Allah Berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya:
33.59. “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kesimpulan:
“Identitas seorang wanita muslimah itu adalah jilbab dan akhlaknya, akhlak tanpa jilbab kurang, sama kurangnya dengan jilbab tanpa akhlak”.

Cairo, 4 Maret 2011

Read More......

Kita Tercipta Tanpa Pencipta?!

Pendahuluan
Judulnya membuat sebagian orang gerah atau bahkan panas “Ini orang maunya apa sih? Menyesatkan kali ya??”, sebagian yang lain biasa-biasa saja. Bagi orang-orang yang biasa-biasa saja ada beberapa kemungkinan, Kemungkinan tidak paham maksud judulnya, kemungkinan setuju dengan judulnya, atau berbaik sangka kepada penulis ketika membaca judulnya. Tulisan ini lebih diperuntukan kepada orang-orang yang setuju kepada judulnya. Orang yang setuju dengan judul dari tulisan ini boleh jadi karena tidak tahu apa-apa lantas ikut-ikutan, atau tahu dan memang “seperti judul ini” lah pemikirannya.

Nah, untuk orang yang mempunyai pemikiran semisal “Aku tercipta tanpa pencipta!” atau “Bumi ini tercipta dengan sendirinya tanpa pencipta”, aku beri tahu kepada kalian, untuk itu lah tulisan ini ada!! Untuk meluruskan kembali pemikiran yang bengkok. Jadi, tulisan ini tidak muncul dengan sendirinya.

Cukup sampai disini pendahuluannya, hanya orang-orang yang hebat lah yang membaca sampai disini, karena berarti dia tahu apa yang akan terjadi di paragraf berikutnya, jika belum, silahkan teruskan membaca atau sekedar melihat paragraf-paragrafnya!

***

Ada manusia yang percaya kepada akal dan tidak percaya Tuhan, ini lucu; karena saat ia percaya kepada akalnya ia menuhankannya, artinya Tuhan adalah akalnya. Seharusnnya ia tak percaya kepada akalnya, jika benar-benar tak percaya Tuhan.

Jika Tuhan adalah Pencipta, maka akal adalah ciptaanNya, lantas apakah masuk akal jika kita percaya ciptaan tapi tak percaya PenciptaNya? “Masuk akal!!!” hanya ketika kita menganggap bahwa adanya mobil terjadi dengan sendirinya, kebetulan dan atau tanpa pencipta.

Semua orang percaya bahwa “Kebetulan” takkan pernah membuat istana yang megah, mesin yang canggih, robot yang cerdas dan hal-hal kompleks nan rumit lainnya. Jagad raya ini begitu rumit, kompleks, megah dan penuh dengan makhluk-makhluk yang cerdas. Apakah mungkin semuanya terjadi secara kebetulan (dengan sendirinya) tanpa Pencipta???

Dibalik canggih dan cerdasnya robot, pasti ada tangan-tangan ahli yang membuat, merangkai dan menyusun komponen-komponennya. Lantas sentuhan siapakah keceradasan manusia? Jika robot saja dibuat sedemikian rupa agar mampu bergerak bahkan bersuara demi mengundang decak kagum orang-orang yang melihatnya, lantas bagaimana dengan gerak pada manusia? Suara dan panca inderanya, apakah dibuat tanpa tujuan? Lebih jauh lagi, apakah ada secara kebetulan tanpa Pencipta???
Akal yang kita miliki pun sangat kompleks dan rumit, saking rumitnya, pemikiran seperti ini ada. Jadi apa itu teori kebetulan? Meminjam pernyataan Harun Yahya tentang Teori Evolusi, saya dapat mengatakan kalau “Teori kebetulan itu sama ilmiahnya dengan dongeng katak berubah menjadi pangeran tampan”.

Jika Kebetulan itu dipercayai keberadaannya, maka Tidak kebetulan pun mesti dipercayai keberadaannya, sama halnya seperti memercayai “Duduk” dan “Tidak duduk”. Dengan demikian sebenarnya kita hanya perlu menggunakan akal kita untuk lebih teliti dan jeli dalam membedakan mana yang kebetulan dan mana yang tidak kebetulan (disengaja).

Socrates mengatakan bahwa sesuatu yang nampak fungsi atau kegunaan dari penciptaannya menunjukan kalau sesuatu itu sengaja diciptakan, bukan kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Coba lah lihat pisau! Apakah Nampak kegunaan dan fungsinya? Pembuatnya sadar kalau manusia butuh alat untuk mengiris atau memotong, karena itu lah akhirnya pisau dibuat.

Sekarang raba lah hidung anda, kedipkan mata anda, gerak kan tangan anda, mainkan semua panca indera yang anda miliki!!! Adakah salah satu dari kelimanya yang tak mempunyai kegunaan atau fungsi?

Semuanya sangat jelas memiliki kegunaan dan fungsi masing-masing, lantas apakah fungsi dari anggota tubuh dan pancaindera kita tercipta dengan sendirinya? Sang Pencipta Maha Tahu kalau manusia butuh sesuatu untuk mengecap rasa, karena itu lah Dia menciptakan lidah pada manusia, Dia pun Maha Tahu kalau Manusia butuh sesuatu untuk mendengar bunyi-bunyian, karena itu lah Ia menciptakan telinga, dan seterusnya dan seterusnya.

Sekarang perhatikan lah akal kita!!! Bukankah akal kita ini jelas fungsingnya? Andai manusia tidak punya akal, apakah mungkin membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Untuk itu lah Allah menciptakan akal, agar manusia tak seperti keledai, mau saja memikul beban-beban berat, agar manusia tak seperti harimau, mencabik siapa saja yang mau ia cabik, agar manusia tak seperti ayam, masuk ke rumah tanpa permisi, agar manusia tak seperti kucing, sudah buang kotoran sembarangan, mencuri ikan pula, dan seterusnya.

Allah berfirman “Dan (juga) pada dirimu sendiri (terdapat tanda-tanda keberadaanNya), maka apakah kamu tidak memerhatikan?”(QS…)

Cukup lah akal kita ini sebagai salah satu dari sekian banyak tanda pada diri kita akan keberadaan Allah, sebagaimana pada buku best seller terdapat tanda adanya penulis dan kepiawaiannya merangkai kata.

Jika manusia gagal menjangkau adanya keberadaan Pencipta dengan akalnya, maka ia dapat menjangkau dengan perasaannya, jika masih gagal, abaikan keduanya dan lihat bagaimana naluri mengokohkan keberadaan Pencipta dengan sendirinya!!!

Hanya saja jangan sampai naluri itu difungsikan saat nyawa sudah ditenggorokan, seperti yang terjadi pada Firaun. Sesaat sebelum tenggelam nalurinya berfungsi, bangunan kecongkakannya yang kokoh tiba-tiba roboh seketika, “Aamanna birobbi Musa wa Harun!!! (aku beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun)” teriaknya menyahut seruan musa yang sebelumnya bagai angin lalu.
Terakhir, ingat! Bahwa Firaun bukan saja tidak percaya Tuhan, bahkan menisbahkan Ketuhanan kepada dirinya. Lantas seberapa hebat kah kita dibandingkan Firaun, dan seberapa sombong kah kita dibandingkan dengannya?

“Mudah-mudahan tubuh kita ini tidak menjadi lebih kecil dari tumor kesombongan kita yang membengkak dan mengganas”
*Wallahualam bis shawab*


Sandy Legia
Cairo, 29 Januari 2011

Read More......

Apakah Semua Hal Perlu Diragukan?

Gue Ragu!
Keraguan bagi filsuf merupakan salah satu faktor pendorong untuk berfilsafat. Ragu, bagi mereka merupakan stimulus(rangsangan) untuk memancing akal agar berfikir lebih dalam terhadap sebuah fenomena, baik fenomena fisik maupun metafisika(Gaib), begitu katanya.Imam Ghazali mengatakan yang maknanya “Barang siapa yang tidak ragu, berarti tidak berpenglihatan, dan siapa yang tidak berpenglihatan, berarti tidak melihat..”.

Tentunya tidak semua keraguan masuk ke dalam faktor pendorong berfilsafat, hanya jenis keraguan yang mengantarkan kepada keyakinan lah yang masuk ke dalam kategori ini. Lantas apa dan seperti apa ragu yang mengantarkan kepada keyakinan?

Ragu yang mengantar kan kepada keyakinan adalah ragu yang didasari dengan pemahaman terhadap tabiat sesuatu yang diragukan tersebut (Obyek yang diragukan), yakni apakah sesuatu itu bila diragukan rentan terhadap kesalahan berfikir atau tidak, rentan terhadap kesesatan berlogika atau tidak?

Berdasarkan hal diatas, Obyek yang diragukan ditinjau dari tabiatnya dibagi menjadi dua:
1. Obyek yang rentan
2. Obyek yang tidak rentan

Obyek yang rentan adalah Obyek yang apabila diragukan besar kemungkinan tidak mengantar peragunya kepada keyakinan, jika peragu tersebut lemah mencari bukti-bukti logis yang sejalan dengan akalnya akan kebenaran adanya dan atau keberadaan obyek tersebut. Contohnya keraguan terhadap hal gaib. Keraguan terhadap hal gaib tidak akan mengantarkan seseorang kepada keyakinan, jika akal orang tersebut lemah mencari bukti logis akan keberadaan hal gaib tersebut. Dengan demikian ia terus berada dalam keraguan bahkan kesesatan, selama bukti-bukti yang sejalan dengan akalnya atau logikanya belum didapati. Contoh keraguan seperti ini adalah keraguan terhadap Keberadaan Tuhan.

Keraguan akan keberadaan tuhan adalah keraguan yang rentan menjerumuskan para peragunya kepada kesesatan, jika si peragu gagal mencari bukti-bukti logis akan keberadaanNya, maka jatuh kepada kesimpulan “Tuhan tidak ada” adalah hal yang sangat mungkin. Oleh karenanya, semestinya bagi para filsuf untuk mendekati daerah ketuhanan dengan keimanannya terhadap kitab suci, bukan dengan keraguannya, karena keraguan terhadap hal ini beresiko besar menjatuhkan peragunya terhadap penafian keberadaan Tuhan.

Adapun Obyek yang tidak rentan adalah obyek yang apabila diragukan besar kemungkinan mengantarkan peragunya kepada keyakinan akan keberadaannya dan atau kebenaran akan adanya obyek tersebut, hanya dengan melihat realitas .

Contohnya adalah keraguan akan kabar hasil kelulusan ujian. Walaupun seseorang telah mengabarkan akan kelulusan kita, namun kita masih tetap ragu sampai akhirnya keyakinan pun didapat setelah melihat sendiri hasil ujiannya. Keraguan seperti ini tidak rentan, atau katakanlah tidak berbahaya; karena realitas adalah buktinya.

Untuk mendapatkan bukti berupa realitas, kita hanya perlu merecheck kebenaran akan sesuatu itu, bukti logis hanyalah tambahan dan penguat, jika ada.

Di zaman sekarang, ragu seperti ini perlu dibudayakan, terutama terhadap kevalidan informasi-informasi yang berseliweran setiap hari ke telinga kita. Kita perlu meragukan akan kebenaran setiap berita yang kita dengar dan kita lahap, apalagi jika berita tersebut menyangkut reputasi seseorang atau golongan tertentu. Jika seorang ustadz tengah dikabarkan berzina misalkan, maka kita perlu ragu dan mengecek ulang keakuratan berita tersebut, karena kesembronoan dan ketergesaan dalam mengabarkan boleh jadi membuat fitnah baru dan malah menyebarluaskan kebohongan, jika ternyata kabar tentang si ustadz adalah kabar palsu.

Begitu pula kabar-kabar panas lainnya, seperti isu teroris terhadap segolongan ummat islam, selayaknya kita adalah orang yang pertama meragukan keakuratan dan kevalidan berita tersebut, agar tidak merusak citra Islam itu sendiri dan tidak membuat fitnah baru dalam tubuh ummat islam ini.

Allah berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka teliti lah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu”.(Qs. Al-Hujurat: 6).
Demikianlah tulisan ini dibuat agar kita menjadi orang-orang yang yakin pada hal-hal yang menuntut keyakinan dan ragu terhadap hal-hal yang sekiranya perlu diragukan.

Sandy Legia
Cairo, 29 Januari 2011

Read More......

Kenapa Tuhan Menciptakan Orang Kafir(Ateis)?

Kenapa Tuhan Menciptakan Orang Kafir(Ateis)?

"Kalau memang seluruhmanusia (turunan Adam) diseru untuk beriman kepada Tuhan, lalu kenapa Tuhan Menciptakan Orang Kafir (Ateis) ?" Pertanyaan ini juga kerap kali dimunculkan dalam obrolan ateisme. Sebagian memperjelasnya dengan pertanyaan balik, “Yang diciptakan Tuhan (sebagaimana dimaksud pertanyaan diatas) itu manusianya atau kekafirannya?” Tentu bukan pada tempatnya kita berdiskusi masalah makna dan maksud kalimat, karena ini bukan kelas filsafat. Hanya saja kerap kali orang menyangka adanya satu permasalahan filosofis yang pelik, padahal yang terjadi sebenarnya hanyalah kesalahan memahami makna kalimat. Sekali kita tahu kesalahan itu, kita akan dapati bahwa sebenarnya tidak ada masalah apapun. Jadi Kenapa Tuhan Menciptakan Orang Kafir (Ateis)? Begini jawabannya:

Pertanyaan seperti itu muncul karena dua anggapan
1. bahwa orang ateis memang telah ateis sejak diciptakan
2. bahwa orang menjadi ateis karena Tuhan mentakdirkan hati dan pikirannya sebagai pikiran ateis.

Kedua anggapan ini salah besar. Namun begitu tidak sedikit orang yang mengaku beragama pun memiliki anggapan demikian. Bahkan di masa masa kekuasaan umayyah merebak pemahaman jabariyyah (fatalis) yang mengikuti anggapan semacam ini sembari merujuk beberapa hadits sebagai dasar keyakinan.

Mengenai Jabbariyyah (fatalisme) dan hadits rujukannya tentu lebih tepat jika dibahas tersendiri.

Untuk menjawab pertanyaan utama artikel ini yang perlu dilakukan hanyalah meluruskan pemahaman yang lebih pas atas kedua anggapan di atas dengan penjelasan berikut:

Beriman ataupun kafir bukanlah sebuah kondisi final atau statis, melainkan keadaan yang berproses. Hari ini dia kafir, bisa jadi besok beriman. Hari ini dia beriman bisa jadi besok kafir. Hal ini pula yang membuat beberapa ulama salih menasihati agar tetap tidak sombong terhadap orang kafir karena bisa jadi esok hari orang itu berubah fikiran untuk beriman,lalu mati dalam keadaan beriman sepenuhnya kepada Allah.

Tuhan menciptakan semua bayi di dunia lahir tidak dengan stempel kafir atau beriman. Tuhan menciptakan bayi dalam keadaan fitrah, bersih. Status beriman atau kafir muncul hanya ketika bayi itu sudah beranjak dewasa kemudian berhadapan dengan seruan untuk beriman kepada Allah. kalau dia mengikuti seruan itu maka dia disebut mukmin/mukminin(orang yang beriman), kalau dia menolak maka disebut kafir (orang yang menolak)
Itu artinya Tuhan tidak menciptakan orang-kafir. Tuhan menciptakan manusia beserta kehendak bebasnya kemudian manusia itu diseru/diperintahkan untuk beriman kepada Allah. Ada yang mau nurut ada yang tidak.

Keseluruhan penjelasan ini terkandung dalam ayat Quran
Fa alhama ha fujuro ha wa taqwa ha
Qod aflakha man zakka ha
wa qod khoba man dassaa ha
Maka Aku ilhamkan pada jiwa manusia itu potensi keburukan dan potensi kebaikan (ketakwaan)
Sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya dengan memupuk mengembangkan potensi takwa dan kebaikannya
Dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya dengan mengembangkan potensi keburukannya

Ctt: Tuhan yang menciptakan potensinya kemudian manusia diberi kebebasan untuk memilih mengembangkan potensi yang mana sesuai kehendaknya sendiri (bukan kehendak Tuhan)

Lantas apa jawaban pertanyaan utama artikel ini? Kenapa Tuhan Menciptakan Orang Kafir (Ateis)?

Jawabannya: anda salahpaham mas, Tidak pernah Tuhan menciptakan Orang Kafir. Tuhan memang menciptakan orang itu, tapi orang itu menjadi kafir karena pilihan hati dan pikirannya sendiri. Kalau dia mau berubah untuk tidak kafir detik ini juga tentu bisa. Lhoh gimana caranya? Ya gampang, ikuti saja apa saja yang diperintahkan Tuhan dalam Quran beres kan?

http://www.infogue.com/

Read More......