Putri Sudah Dewasa

Aku punya adik perempuan, Putri namanya. Bulan ini tanggal 3 Maret 2009, umurnya genap 16 tahun, sebentar lagi putri masuk SMA. Gayanya sekarang sudah mulai berubah, bagiku itu membuat resah, tapi bagi ayah dan ibu itu sesuatu yang lumrah. Orang tuaku memang permisif, tapi masih punya prinsip. Aku dan putri tak boleh berhenti mengaji. Saat aku duduk di kelas empat SD, orang tuaku mulai gusar melihat anaknya buta agama, tak tahu mana alif mana yaa, tak tahu siapa Nabi Muhammad saw siapa Nabi Isa. Atas usulan ibu kepada ayah, aku di masukan ke sebuah TKA – TPA (sekarang TPQ; Taman Pendidikan Quran) yang jaraknya sepuluh menit jalan kaki dari rumah. Hal ini diberlakukan pula terhadap Putri ketika dia menginjak kelas yang sama.

Waktu sangat singkat, banyak hal yang berubah di madrasah TKA – TPA itu, ada yang datang, ada yang pergi, pergantian waktu mengganti wajah-wajah santri dan guru. Sekarang, aku dan putri berada pada posisi yang sama, sama-sama menjadi pengajar. Mengajar anak-anak bagiku adalah hal yang menyenangkan sekaligus membosankan, mungkin seperti itu pula perasaan putri, bahkan nampaknya ia lebih parah dariku, ia ingin meninggalkan mengajar ngaji di madrasah tersebut, ia ingin hidup seperti kebanyakan remaja pada umumnya.

“Bu, Putri pengen berhenti mengajar ngaji!”
“Mengaji dan mengajar ngaji itu sampai mati!!!”
“Mati, perang kaleeee…” ledek Putri dengan suara pelan.

Keinginan Putri ditolak. Untuk hal yang ini menurutku ibu benar-benar tegas dan bijak. Putri adalah remaja, dan ada semacam opini publik di kota kami, khususnya di daerahku, pinggiran kota Bandung, bahwa belajar mengaji cukup sampai SMP. Sudah SMA tak perlu lagi belajar, apalagi kalau belajarnya di madrasah, campur baur dengan anak-anak ingusan yang masih bau kencur. Apa kata dunia?

Putri sudah terbius opini publik ini, sekarang ia mulai berani bolos mengajar ngaji, mulai melawan, bahkan aku pun pernah di makinya. Satu hal yang kusadari, Putri yang sekarang sudah bukan Putri yang dulu. Aku paham itu, tapi apa yang harus ku lakukan agar Putri mau tetap bertahan mengajar? Karena kalau tidak, siapa lagi yang mendidik anak-anak titipan itu? Orang tua mereka pun seakan membuang anak-anaknya, tidak ada kerjasama yang baik antara pengajar dan orang tua santri, sebagian orang tua hanya tau mengajikan anak-anaknya di madrasah, selepas mengaji, atmosfer pendidikan hilang sama sekali. Satu sisi, orang tua benar-benar memercayakan pendidikan agama sepenuhnya kepada madrasah, sisi lain mereka tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di madrasah.

***

Langit Nampak merah keunguan, indahnya ditambah dengan seruan adzan maghrib yang merdu dari kejauhan. Diriku seakan tertarik ke sana, sebuah masjid, terselip di sela-sela gang, kecil, namun ramai. Puluhan bahkan ratusan bocah-bocah menggemaskan belajar a bat a tsa di situ, gurunya banyak, tapi kini berkurang, kemana? Sebagian mengakhiri masa lajang/bujang, sebagian pindah profesi, nongkrong. Maklum, mayoritas pengajar masih SMA dan kuliah, yang sudah bekerja dan bekeluarga hanya satu, kepala madrasahnya saja.

Aku sudah tak sabar, hari ini aku menjanjikan hadiah untuk santri-santri kecil yang bisa menjawab pertanyaanku. Hadiahnya ku beli dari warung tadi pagi, sederhana, tapi mengenyangkan.

“Bu, Putri mana?” tanyaku.
“masih di sekolah, Nak”
“Petang hari kayak gini?”

Sudah sebulan santri-santri kecil tak melihat wajah Putri, aku tak bisa melarangnya, sekarang Putri lebih pandai dariku, pandai bersilat lidah. Setiap hari pasti alasannya itu-itu melulu, ekskul dan belajar kelompok. Aku pernah menasehatinya agar pandai memanage waktu, karena hidup bukan hanya di sekolah, rumah dan lingkungan tempat kita berada punya hak juga. Sayang, nasehatku masuk telinga kanan pun sepertinya tidak, tiap kali aku bicara, Putri memasukkan headset MP4 ke telinganya.

Solat maghrib berjalan dengan penuh kekhusyuan, tidak seperti biasanya, ribut dan gaduh, bahkan tak jarang sampai berujung pertengkaran, masalahnya sepele, hanya karena cubit mencubit pantat ketika sujud. Begitulah bocah, belajarnya adalah mainnya atau sebaliknya.
Usai salam, aku dan para santri masih harus menunggu bapa-bapak berjenggot nan beruban wiridan , maklum masjidnya adalah madrasah juga, 2 in one. Untuk membuat bangunan sendiri memerlukan dana yang banyak, jadi, untuk sementara dan untuk waktu yang lama madrasah adalah masjid dan masjid adalah madrasah.

Sambil menunggu bapak-bapak selesai wiridan, seperti biasa, aku membuka mushaf dan membaca beberapa ayat Al-Quran, sedangkan santri, biasanya berlari-larian di halaman, main kucing-kucingan sambil teriak-teriak, namun hari ini sunyi senyap, Dennas, santri badung yang biasa cekikikan pun bahkan tak Nampak gusi-gusinya, hanya diam sambil menopang dagu.

“Tumben, Nas, gak lari-larian?” tanyaku.
“Enggak a”
“Kenapa?”
“Takut dimarahin”
“Sama siapa?”
“itu tuh, sama bapak-bapak yang pake kopiah biru!”
“Kamu nya sih ribut”
“Tapi kan yang ribut bukan Dennas aja, kenapa cuman Dennas yang di marahin? Kenapa enggak yang lain juga?”
“Mungkin maksudnya ke yang lain juga”
“Tapi Dennas tetep gak suka sama bapak-bapak itu, galak, bicaranya nyakitin….”

Aku tak berkomentar lagi, kudengarkan terus keluhannya tentang bapak tua berjenggot itu. Semua keluhannya adalah komentar negatif tentang sikapnya. Hal ini adalah salah satu permasalahan yang sampai kini belum kutemukan solusinya, bagaimana caranya? Bicara dengan orang tua memang sulit, sedikit mengemukakan argumen disangka menasehati, “Didinya nyaho naon?, dimana-mana oge tu-ur mah moal ngaleuwihan tak-tak” begitulah bunyi sebuah pernyataan seorang bapak tua ketika aku berusaha untuk mengingatkannya agar tak bersikap keras terhadap anak. Perlu pendekatan dan silaturahim intens dengan mereka, tapi aku tak punya banyak waktu untuk itu, jadwalku padat, usai kuliah langsung kumpul organisasi mahasiswa, sorenya ada kegiatan lain, begitu setiap hari, mengajar adalah sisa tenaga dan sisa waktuku.

Masjid sudah kosong, wiridan telah usai, santri-santri kecil dikumpulkan, anak perempuan duduk berjajar di belakang anak laki-laki.

“Apa ini???” tanyaku sambil mengacungkan sebuah benda mencoba untuk mengalihkan perhatian,
“Pulpeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen!!!!” jawab para santri kecil kompak
“Baguuuuuuuus, sekarang aa minta kalian diam, kunci mulutnya rapat-rapat dan dengarkan!”

Suasana gaduh tiba-tiba menjadi hening. Jurus untuk mengalihkan perhatian yang baru ku pelajari dari buku kumpulan simulasi dan ice breaking ternyata benar-benar ampuh. Anak-anak memang sulit dikendalikan, apa lagi anak zaman sekarang, kekerasan dalam mendidik tidak mempan disini, malah membuat mereka lari. Sudah tak dapat lagi kuhitung jari berapa anak-anak yang berhenti mengaji akibat kekerasan dalam mendidik. Sekarang, setelah diadakan training-training dan seminar-seminar cara mendidik anak, para guru tak pernah lagi menerapkan sistem “Sapu lidi” ketika mengajar, karena mereka sadar kalau kekerasan hanya akan membuat anak-anak berhenti mengaji kemudian beralih ke lain permainan.

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, para pengajar belum ada yang datang, baru aku seorang. Santri-santri nampaknya sudah tak sabar untuk segera dibubarkan, berkelompok membentuk sebuah lingkaran-lingkaran kecil dengan satu pengajar di setiap kelompok. Aku sendiri sudah bosan memberi wejangan, dan teka-teki berhadiah sebungkus roti seharga lima ratus rupiah. Biasanya Putri selalu datang paling awal, jauh lebih awal dariku, namun sekarang ia mungkin sudah menemukan keasyikan baru dan melupakan mengajar sama sekali.

Adzan isya berkumandang. Tanpa intruksi dariku, anak-anak membubarkan diri mereka sendiri. Anak-anak perempuan berkumpul di belakang untuk mengenakan mukena mereka, yang laki-laki, sebagian buang air kecil dan berwudhu, yang lainnya lari-larian di dalam masjid. Suasana menjadi gaduh, Dennas si bocah badung kembali beraksi, kalau tidak ngisengin anak perempuan, pasti brantem-branteman. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa, tanganku dua, mulutku satu, ditambah mikropon masjid rusak, maka, untuk mengatur seratus lebih bocah-bocah adalah hal yang tidak mudah.

Seorang bapak-bapak tua tiba-tiba melangkah masuk ke dalam masjid, sorot matanya tajam nan bermuka masam, ia melangkah perlahan menuju mimbar,
“Brug.. brag.. brug.. brag.. !!!!!!!” tangannya menghempas mimbar kayu itu berkali-kali.
Dalam hitungan detik suasana menjadi hening sehening kuburan, hanya senandung jangkrik yang terdengar.

“maneh teh edeuk ngaraji edeuk ulin? Mun edeuk ulin, geus weh balik!!! Tah budak eta, saha ngaran maneh??”
“Dennas!!! Dennas!!!” kawan-kawannya menyahut, Dennas sendiri terdiam, wajahnya tertunduk ketakutan.
“jig balik, ameh teu ngagandengan!!!”

Dennas berdiri sembari mengambil tas gendongnya dan berlalu melangkah keluar masjid. Hatiku miris melihat peristiwa itu, perasaanku kacau, tersinggung, marah dan merasa tidak berharga bercampur menjadi satu. Kakek-kakek tua berkopiah itu seakan telah memosisikan diriku sebagai pengajar yang tidak becus. Padahal menghadapi anak-anak berusia di bawah 10 tahun berbeda dengan menghadapi remaja, pemuda dan orang dewasa.

***

“Maaf ya, bapak saya emang kayak gitu”
“Kamu kan anaknya, saya minta bantuan kamu agar menasehati beliau pelan-pelan”
“Gimana ya.. saya enggak biasa menasehati orang tua, saya suka susah ngomongnya, tapi.. insya Alloh saya usahakan."

Percakapan singkat antaraku dan salah seorang kawan yang juga staf pengajar berakhir. Dia adalah putra dari sang kakek berkopiah biru.

Pengajian telah usai tepat pukul 20.00 malam, anak-anak berhamburan keluar masjid, berlomba-lomba mengambil sandal di rak. Hari ini jumlah lingkaran-lingkarang kecil yang tersisi oleh pengajar hanya tiga dari sebelas lingkaran yang ada. Kemana para pengajar? Kemana Putri? Aku merasa menjadi lone ranger kalau seperti ini terus, sudah berhari-hari bahkan berminggu-minggu anak-anak mengaji tanpa guru. Datang ke masjid hanya formalitas, setelah itu kembali kerumah tanpa ilmu. Bisa saja aku yang menghandle semuanya, tak usah ada lingkaran-lingkaran kecil, namun tentunya efektifitas dan hasilnya akan berbeda, pebicaraan dari hati ke hati akan terasa lebih sulit karena jumlah yang banyak menuntutku untuk membagi rata pandangan mata ke semua santri.

Aku kembali ke rumah dengan hati yang sakit lantaran peristiwa tadi. Di rumah kudapati seorang pemuda tanggung masih memakah baju putih abu, tambah geram aku dibuatnya, namun kegeraman ku sembunyikan di balik senyumanku yang asimetris kepada pemuda tanggung itu. Tebakanku benar, Putri sudah punya keasyikan baru, sekarang ia sudah mulai berani menunjukan “Si dia” yang selama ini ia sembunyikan.

“Tok.. tok.. “ kuketuk kamar Pintu kamar Putri perlahan.
“Itu Pacar Putri?” tanyaku langsung begitu Putri membukakan pintu.
“Iya, emang kenapa? Enggak boleh?” jawab putri sinis.
“Putri kan udah janji sama aa enggak bakal pacaran!”
“Itu bukan urusan aa, Putri gak mau terikat dengan janji!”

Jawabannya pedas diluar kebiasaan. Putri sudah benar-benar berubah. Geram ditimpah geram, bukan main marahnya diriku, dadaku sesak, hampir saja tangan ini melayang ke pipinya, namun aku paling anti kekerasan. Dengan memasang wajah masam, aku berlalu dari hadapannya. Malam ini adalah malam yang membuat panas ubun-ubunku. Mulai dari pengajar yang banyak membolos, peristiwa Dennas, sampai sikap Putri yang mengesalkan.

Aku ingin membalas sikap Putri, aku tidak terima, bagiku sikap putri adalah pelecehan terhadap statusku sebagai kakak, dimana-mana kakak lebih berkuasa ketimbang adik.
Pagi datang, udaranya begitu segar, semua kemarahanku terhadap putri sudah agak sedikit hilang, namun rasa ingin membalas kekesalan kemarin masih ada. Putri terlihat sudah rapi pagi-pagi sekali, padahal biasanya malas-malasan.

“Aa cepetan, udah siang, aa kan udah janji mau antar Putri hari ini!!”

Aku mendengar seruannya, sebetulnya saat yang pas untuk membalas kejengkelannya kemarin malam, namun sudahlah. Lagi pula, aku baru sadar kalau balas membalas merupakan sikap orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sesuai dengan janjiku, hari ini ku antar Putri ke sekolahnya dengan motor matic yang baru ayah beli beberapa hari lalu.

“Put, santri-santri udah banyak yang nanyain,” kataku membuka percakapan sambil mengemudikan motor.
“Aa ingin Putri mengajar lagi, kasihan anak-anak di masjid, kalau enggak ada Putri, pengajar perempuan yang lain jadi terbawa malas. Aa ingin Putri jadi Putri yang dulu, semangat, rajin mengajar, enggak kayak sekarang. Aa tahu, Putri butuh kebebasan sebagai remaja dan aa pun yakin Putri bisa bebas tanpa harus meninggalkan ngaji kemudian beralih ke pacaran. Put, aa Cuma mengingatkan, jaga pergaulan, pandai-pandai pilih teman, apalagi kalau udah menyangkut lawan jenis, cowok itu sensitif kalau udah dekat cewek. Bukannya aa gak percaya sama teman Putri yang kemarin, tapi setidaknya gaya itu mencerminkan tingkah lakunya, maaf ya Put, kalau gaya nya amburadul kayak gitu, kurang lebih karakternya juga kayak gitu. Aa khawatir sama Putri, aa gak mau kalau Putri sampai salah bergaul. Aa minta sama Putri agar selektif memilih teman. Lihat dengan siapa dia bergaul; setidaknya itu bisa menjadi patokan lain buat Putri dalam memilih teman!”

Dari tadi aku berbicara sendiri, entahlah apakah Putri mendengar kata-kataku atau memasukan headset mp4 nya ke telinga? Aku tak tahu!

***

Hari ini, tak jauh berbeda dengan hari kemarin, pengajar yang datang itu-itu lagi, kakek berkopiah biru marah-marah lagi, Dennas diusir lagi, malah kali ini lebih kasar. Sepulang mengaji aku menemukannya di sebuah rental game online. Saat ini kekerasan sudah tidak mempunyai tempatnya lagi dalam dunia anak. Anak-anak sekarang, seperti Dennas, diusir sepertinya malah menjadi kesempatan, lain dengan anak-anak zaman dulu, orang tua atau guru mungkin memberlakukan kekerasan, karena zaman belum terlalu menyediakan aneka permainan, paling-paling main layangan atau kucing-kucingan, oleh karenanya mereka cenderung patuh tanpa perlawanan, walaupun tetap, tidak dulu tidak sekarang, yang namanya kekerasan tidak diperbolehkan.

Hari sudah kelam. Putri belum juga kembali. Raut wajah ibu menunjukan kekhawatiran. Ibu menyuruhku untuk menjemput Putri ke sekolah. Motor yang sudah ku cuci tadi sore terpaksa harus ku kotori lagi dengan air-air tergenang sisa hujan. Dengan rasa malas, kugiring motor ke luar rumah, dinyalakan dan dipanaskan sebentar.

“Putri, Putri, kamu emang suka ngeselin” gumamku dalam hati sembari menatap langit kelam yang tak berbintang.
“Putri, kamu dari mana aja? Tadinya aa mau jemput kamu!” sapaku ketika tiba-tiba putri muncul di hadapanku.
“BRUG!!!” tanpa kalam dan salam ia berlalu membanting pintu rumah, wajahnya masam tanpa senyuman.
“Kenapa Put, kamu kok marah-marah gitu? Tanyaku.
“Putri kemana aja? Mama khawatir tau enggak!” timpal ibu.

Tak ada jawaban, Putri langsung masuk kamar, membanting pintu dan menguncinya rapat-rapat.
Keesokan harinya, saat aku selonjoran di ruang tamu, Putri mendekatiku,

“Benar apa kata aa waktu anter Putri,”
“Cowok yang Putri bawa kesini gak baik!”
“Punya pacar lain?” tanyaku.
“Bukan!”
“Terus apa dong?”

Putri seperti ragu untuk mengatakannya, namun akhirnya dia menceritakan semuanya. Hatiku lega tatkala putri memiliki sikap atas ajakan yang tak pantas itu.

“Semua laki-laki itu sama, selalu kayak gitu” kata Putri sambil bermuka cemberut.
“Kayak gitu gimana?” tanyaku memancing.
“Emang, cinta itu satu kemasan 3 in one sama yang kayak begitu ya, a?” Putri balik bertanya.
“Menurut Putri?”
“gak tau” jawabnya singkat.
“gak semua cowok kayak gitu, tapi semua cowok punya potensi untuk berbuat seperti itu tatkala ada kesempatan dan ada niatan dari cowok itu sendiri. Aa yakin Putri udah tau cerita nabi Yusuf. Cewek sama cowok apalagi bukan mahrom kalau berdekatan seperti kutub utara dan selatan pada magnet, ada medannya, tarik menarik satu sama lain, bisa lepas kalau sudah berjauhan”.

Putri hanya mengangguk mendengarkan wejanganku. Terkadang seribu nasehat belum berarti bagi seseorang sebelum ada yang peristiwa yang menyadarkan orang tersebut dan mengembalikan ingatannya akan nasehat-nasehat yang sebelumnya bagai angin lalu.

“Satu lagu Put, cinta tidak identik dengan yang seperti itu, cinta adalah sesuatu dan ‘yang seperti itu’ adalah sesuatu yang lain, gak bisa dapat dua-duanya kecuali dengan satu cara yang halal”
“Caranya?” Tanya putri penasaran.
“Menikah, menikah adalah celebration of love, setelahnya adalah puncak keindahan dan puncak kenikmatan. Pada masa inilah (baca:pasca nikah) cinta benar-benar diuji. Masihkah bertahan lagu-lagu cinta yang dulu sering disenandungkan? Masihkah bertahan puisi-puisi cinta yang dulu dideklamasikan? Atau jangan-jangan satu kata ‘sayang’ pun tak pernah lagi diungkapkan. Kalau begitu, kemanakah perginya ‘Cinta sejati yang dulu sering dihikayatkan?’”.
“Kamu harus bisa mendobrak adat Put! Jangan mengekor terus seperti bebek, latah mengikuti zaman. Hari-hari kedepan harus dirancang, bukannya malah terlena dengan hari ini sehingga melupakan yang akan datang. Jangan lupa juga ‘Waktu adalah kehidupan’, kalau Putri menyia-nyiakan waktu, berarti Putri menyia-nyiakan kehidupan, ingat-ingat syair ini karena waktu yang telah berlalu takkan kembali terluang:

‘Andai masa muda
Kembali walau sehari saja
Maka kan kukabarkan padanya
Apa yang ia lakukan di masa tua’

***

“Horeeeeeeeeeeeiiii…!!!” santri-santri kecil bersorak-sorai, sebagiannya bertepuk tangan. Kembalinya Putri mengajar disambut gembira, pengajar perempuan lain pun bermunculan. Keberadaan Putri ibarat pepatah “Ada gula ada semut”, ada Putri, yang lain pun ikut ada.
Tentang kakek-kakek berkopiah biru, anaknya sudah berhasil menasehati. Sekarang beliau lebih memaklumi keadaan santri yang terkadang tak terkendali. Beliau sudah paham, pengajarnya pun tak mendapat imbalan yang begitu besar, selain itu juga terkadang sibuk dengan aktivitas sekolah, jadi wajar kalau terkadang sebagian ogah-ogahan dalam mengajar.[]

Cerpen ini didedikasikan untuk pengajar Al-Muawanah yang telah mengantarkanku ke negeri ini, yang pertama mengajariku “Apa itu Islam” disaat aku sama sekali tak mengenalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar