Pengertian Tabayun
Kata tabayun berasal akar kata bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang berarti at-tastabbut fil-amr wat-ta’annî fih (meneliti kebenaran sesuatu dan tidak tergesa-gesa di dalamnya). Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (An-Nisâ: 94).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa tabayun berarti pemahaman atau penjelasan. Dengan demikian, tabayun adalah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.
Syekh Muhammad Sayyid ath-Thantawi mengartikan tabayun sebagai ketidaktergesaan dan kesabaran dalam semua hal sehingga mengetahui kebenaran yang disampaikan oleh orang fasik.
Menurut al-Kafawi dalam al-Kuliyyât, tabayun merupakan salah satu tingkatan dalam penalaran. Ia menyatakan bahwa sebuah ilmu dapat mencapai otak (pemahaman) melalui beberapa tingkatan: asy-syu`ûr (rasa), al-idrâk (tahu), al-hifzh (hapal), at-tadzakkur (ingat), ar-ra’y (pendapat), at-tabayyun (tahu setelah ragu) dan al-istibshar (tahu setelah berfikir).
Tabayun dalam Nash-nash Syar`i
Kata tabayun dalam teks-teks syar`i –Alquran dan Sunnah—memiliki makna yang berdekatan dengan makna bahasa (etimologi):
1. Tabayun dalam Alquran. Kata tabayun dan derivasinya disebutkan sebanyak kurang lebih 17 kali yang berkisar pada makna menjadi jelas dan carilah kejelasan. Hanya saja, bentuk kata yang disebutkan adalah berupa kata kerja (fi`il) bukan kata benda atau sifat. Contoh penyebutan kata tabayun dalam Alquran adalah firman Allah, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata (tabayyana) bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109).
Dan firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan (latubayyinunnahu) isi kitab itu kepada manusia.” (Âli Imrân: 187).
2. Tabayun dalam Sunnah. Tabayun dalam Sunnah memiliki makna yang sama seperti dalam Alquran. Misalnya sabda Rasulullah saw., “
إِذَا زَنَتْ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا
“Jika seorang budak perempuan berzina dan terbukti (menjadi jelas) perbuatannya itu, maka cambuklah dia.” (HR. Bukhari).
Urgensi dan Keutamaan Tabayun
Tabayun merupakan salah satu sikap yang sangat penting untuk selalu dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak pertikaian dan perselisihan baik dalam skala terkecil, seperti antar dua orang individu, hingga skala terbesar, seperti peperangan global, disebabkan oleh tuduhan-tuduhan tidak benar atau pemahaman keliru dalam membaca sikap pihak lain.
Di dalam Alquran, perintah melakukan tabayun secara eksplisit dinyatakan oleh Allah di dua tempat dalam Alquran, yaitu dalam surah an-Nisâ’ ayat 94 dan surah al-Hujurât ayat 6.
1. Perintah tabayun dalam surah an-Nisâ ayat 94. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum muslimin yang melakukan jihad di jalan Allah agar tidak tergesa-gesa dalam menyerang lawannya hingga benar-benar telah jelas dan terbukti bahwa mereka adalah orang kafir dan layak untuk diperangi. Bahkan, Allah melarang membunuh seseorang yang mengaku beriman hanya karena kaum muslimin meragukan pengakuannya tersebut.
2. Perintah tabayun dalam surah al-Hujurât ayat 6. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar seseorang tidak bersegera membenarkan berita yang dibawa oleh seorang fasik hingga ia benar-benar meneliti dan mengecek kebenarannya.
Bagi seorang dai atau aktifis dakwah sifat tabayun mutlak diperlukan agar semua tindakannya tidak terjebak pada penilaian buta dan serampangan yang hanya akan menjerumuskan dia dalam kemaksiatan yang sangat besar kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu tidak lain karena seluruh ucapan dan tindakannya akan menjadi contoh oleh masyarakat, sehingga jika penilaiannya yang buruk dan salah itu tersebar maka ia akan menanggung seluruh beban dosa akibat perbuatannya tersebut.
Selain urgensitas di atas, tabayun juga memiliki beberapa keutamaan lain, diantaranya adalah:
1. Menjaga jiwa dan harta manusia.
2. Petanda kematangan akal dan cara berfikir.
3. Menjaga kehormatan dan ketentraman masyarakat dari keputusan yang tergesa-gesa dan tanpa didasarkan pada studi dan penelitian.
4. Menumbuhkan rasa percaya diri.
5. Menjauhkan keraguan serta bisikan dan tipu daya setan.
6. Mengokohkan bangunan sistem amal jama`i.
Penghalang Tabayun
Meskipun begitu penting nilai tabayun dalam diri seseorang tapi masih saja kita sering menemukan kebusukan yang tercium dari mulut yang tergesa-gesa dan tidak mencermati informasi yang datang dari sumber yang bersih dan valid. Di dalam Alquran, setelah menjelaskan pentingnya bertabayun dari berita yang diterima dari orang fasik, Allah `azza wa jalla lalu memperingatkan kaum muslimin dengan berbagai sifat buruk yang diakibatkan oleh informasi sampah itu. Sikap-sikap negatif tersebut dibagi menjadi dua: sifat tercela yang diungkapkan secara terang-terangan di hadapan orang yang dicela --yaitu as-sukhriyyah (mengolok-olok) dan at-tanâbuz bil-alqâb (memanggil dengan gelar yang buruk)—dan sifat tercela yang diungkapkan di belakang orang yang dicela –yaitu sû’uz-zhann (berprasangka buruk), at-tajassus (mencari-cari kesalahan) dan al-ghîbah (menggunjing)--.
Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak melakukan tabayun dan klarifikasi, diantaranya adalah sikap egois dan merasa sudah memahami berita dengan benar, sombong dan merasa lebih tinggi dari sumber klarifikasi, malas untuk mencari kebenaran dan lain sebagainya. Namun, ada sifat lain yang kadang menghalangi seseorang yang aktif dalam dunia dakwah untuk melakukan tabayun, yaitu rasa `athifiyyah (emosionalitas) terhadap sesama aktifis dakwah.
Seorang aktifis dakwah sudah barang tentu akan memiliki rasa emosionalitas yang lebih terhadap saudaranya sesama aktifis dakwah dibandingkan dengan orang lain di luar dunia dakwahnya. Meskipun hal ini sangat penting dan perlu terus ditumbuhkan hanya saja jangan sampai hal itu membuatnya menjadi buta dan menerima begitu saja semua informasi yang diterima dari saudaranya tersebut. Sikap berlebihan inilah yang tidak jarang mengakibatkan sikap tabayun itu menjadi tersisihkan bahkan kadang hilang sama sekali, sehingga ia akan menerima apapun jenis informasi yang diterima dari sesama aktifis tanpa memfilter, mengkros-cek dan menimbang lebih dalam. Namun, ini tidak berarti kita tidak perlu membedakan antara informasi yang diterima dari sesama aktifis dan informasi yang diterima dari luar. Justru, kita tetap menilai bahwa informasi dari sesama aktifis dakwah tentu memiliki nilai kepercayaan lebih tinggi, tapi hal itu tidak boleh dijadikan sebagai harga mati dan kepercayaan buta sehingga menutup pintu untuk melakukan tabayun.
Sebagai contoh, dalam perang Hunain (8 H), Rasulullah saw. memberikan para pembesar Quraisy ghanimah yang sangat banyak tapi tidak memberi sedikit pun untuk kaum Anshar. Karena cukup kecewa dengan pembagian itu, maka mereka meminta Sa`ad bin Ubadah untuk bertanya kepada beliau. Beliau lalu berkata kepadanya, “Bagaimana sikapmu, wahai Sa`ad?” Ia menjawab, “Aku bersama mereka, wahai Rasulullah.” Lalu beliau menyuruh Sa`ad untuk mengumpulkan seluruh kaumnya. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata, “Wahai Anshar, apakah kalian tidak rela membiarkan mereka pulang dengan seluruh ghanimah itu sementara kalian pulang dengan membawa Rasulullah?” Mendengar itu mereka menangis dan menjadi rela dengan semua keputusan beliau. Dalam kisah ini, terlihat bahwa Rasulullah saw. tetap mencari informasi ke sumbernya meskipun beliau telah mendapatkan sebagian informasi itu dari Sa`ad yang merupakan salah seorang sahabat terbaiknya serta merupakan pembesar kaum Anshar dan bagian dari pihak yang merasa kecewa. Di sini, Rasulullah saw. ingin memberikan pelajaran berharga agar kita tidak tergesa-gesa dalam memberikan keputusan demi menjaga keutuhan umat.
Tabayun dalam Kerangka Dakwah
Kehidupan berdakwah merupakan sebuah wilayah interaksi yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kehidupan umum dalam masyarakat. Seorang aktifis akan diikat dengan nilai dan etika tambahan yang dituntut untuk dipatuhi berkaitan dalam kerangka hak dan kewajibannya dalam gerakan itu. Baik qaid maupun jundi memiliki jalinan kuat yang saling mengisi dan melengkapi. Di dalam surah al-Hujurât, Allah SWT secara gamblang menjelaskan hubungan-hubungan itu.
Menurut as-syahid Sayyid Qutub, nidâ’ (seruan) pertama dalam surah al-Hujurât adalah perintah untuk menjadikan qiyadah sebagi sumber petunjuk dan perintah. Kemudian, seruan kedua dalam surah itu merupakan perintah untuk mengikuti adab dan tata cara berinteraksi dengan qiyadah. Sedangkan dalam seruan ketiga, Allah ingin mengajarkan bagaimana cara menerima dan mengambil sebuah informasi, yaitu dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam penerimaan info tersebut. Karena tidak semua berita datang dari sumber yang valid.
Tabayun adalah salah satu instrumen dakwah terbaik dalam menjaga persatuan dan terlaksananya amal jam’i secara utuh demi tercapainya kemakmuran umat dalam naungan ridha Allah. Oleh karena itu, memiliki sifat ini adalah sebuah keniscayaan dan keharusan bagi seorang aktifis dakwah. Dengan tabayun, kita akan diajarkan bagaimana bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menghukumi sebuah persoalan tertentu. Kita pun akan dididik untuk membiasakan meminta pendapat dan nasehat dari rekan atau qiyadah dalam kerangka menjaga keutuhan jamaah.
Selain itu, ada hal yang sangat penting yang dapat dipetik oleh aktifis dakwah jika benar-benar mempraktekkan nilai-nilai tabayun ini, yaitu ats-tsiqah bil-qiyâdah wal jamâ`ah (yakin dengan keputusan qiyadah dan jamaah) terutama dalam era keterbukaan saat ini. Informasi bisa datang dari berbagai sumber bahkan terlihat “berserakan” dimana-mana. Disinilah aktifis dakwah sejati dituntut menunjukkan kematangannya dalam tarbiyah. Seorang jundi tarbawi harus mampu mesterilisasi dan memastikan kebenaran sebuah informasi sebelum keluar dari mulut dan hatinya yang bersih yang kemudian akan dikonsumsi oleh orang lain. Jika ia mendapati sebuah berita miring tentang jamaahnya maka sikap pertama yang harus dilakukan adalah husnuzzhan, lalu diikuti dengan tabayun kepada sumber dan kanal informasi yang bersih dan terpercaya.
Seorang aktifis dakwah harus berusaha untuk bersikap tabayun dalam berbagai hal apalagi jika informasi yang ia miliki tentang permasalahan tertentu masih sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Ini untuk menjaga keutuhan jamaah dan menjaga perjalanan dakwah hingga mencapai tujuannya. Selain itu, sikap tabayun dapat menjaga keutuhan kaum muslimin secara umum dan menjauhkan mereka dari pertikaian serta perselisihan yang hanya akan membuat tubuh umat Islam semakin lemah. Sikap tabayun sangat diperlukan terutama di masa modern saat ini yang telah berkembang di dalamnya sarana telekomunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia berubah menjadi sebuah desa yang kecil dengan begitu cepatnya tersebarnya sebuah informasi ke seluruh elemen masyarakat.
Dengan demikian, tabayun merupakan salah satu sifat dan karakter penting bagi aktifis dakwah dan tarbiyah. Ia harus mampu memindahkan nilai-nilai tabayun dari ranah verbal ke ranah amalan nyata. Amal jama’i yang kita bangun bersama tidak dapat berjalan mulus bahkan mungkin dapat hancur berkeping-keping jika seorang aktifis dakwah tidak berhati-hati dan melakukan tabayun dalam semua urusannya. Pengelolaan informasi yang baik akan menciptakan struktur jamaah yang kuat dan menghasilkan pribadi-pribadi dakwah yang bersih dan saleh. Hadânallahu wa iyyakum ajma`în.
Kata tabayun berasal akar kata bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang berarti at-tastabbut fil-amr wat-ta’annî fih (meneliti kebenaran sesuatu dan tidak tergesa-gesa di dalamnya). Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (An-Nisâ: 94).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa tabayun berarti pemahaman atau penjelasan. Dengan demikian, tabayun adalah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.
Syekh Muhammad Sayyid ath-Thantawi mengartikan tabayun sebagai ketidaktergesaan dan kesabaran dalam semua hal sehingga mengetahui kebenaran yang disampaikan oleh orang fasik.
Menurut al-Kafawi dalam al-Kuliyyât, tabayun merupakan salah satu tingkatan dalam penalaran. Ia menyatakan bahwa sebuah ilmu dapat mencapai otak (pemahaman) melalui beberapa tingkatan: asy-syu`ûr (rasa), al-idrâk (tahu), al-hifzh (hapal), at-tadzakkur (ingat), ar-ra’y (pendapat), at-tabayyun (tahu setelah ragu) dan al-istibshar (tahu setelah berfikir).
Tabayun dalam Nash-nash Syar`i
Kata tabayun dalam teks-teks syar`i –Alquran dan Sunnah—memiliki makna yang berdekatan dengan makna bahasa (etimologi):
1. Tabayun dalam Alquran. Kata tabayun dan derivasinya disebutkan sebanyak kurang lebih 17 kali yang berkisar pada makna menjadi jelas dan carilah kejelasan. Hanya saja, bentuk kata yang disebutkan adalah berupa kata kerja (fi`il) bukan kata benda atau sifat. Contoh penyebutan kata tabayun dalam Alquran adalah firman Allah, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata (tabayyana) bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109).
Dan firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan (latubayyinunnahu) isi kitab itu kepada manusia.” (Âli Imrân: 187).
2. Tabayun dalam Sunnah. Tabayun dalam Sunnah memiliki makna yang sama seperti dalam Alquran. Misalnya sabda Rasulullah saw., “
إِذَا زَنَتْ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا
“Jika seorang budak perempuan berzina dan terbukti (menjadi jelas) perbuatannya itu, maka cambuklah dia.” (HR. Bukhari).
Urgensi dan Keutamaan Tabayun
Tabayun merupakan salah satu sikap yang sangat penting untuk selalu dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak pertikaian dan perselisihan baik dalam skala terkecil, seperti antar dua orang individu, hingga skala terbesar, seperti peperangan global, disebabkan oleh tuduhan-tuduhan tidak benar atau pemahaman keliru dalam membaca sikap pihak lain.
Di dalam Alquran, perintah melakukan tabayun secara eksplisit dinyatakan oleh Allah di dua tempat dalam Alquran, yaitu dalam surah an-Nisâ’ ayat 94 dan surah al-Hujurât ayat 6.
1. Perintah tabayun dalam surah an-Nisâ ayat 94. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum muslimin yang melakukan jihad di jalan Allah agar tidak tergesa-gesa dalam menyerang lawannya hingga benar-benar telah jelas dan terbukti bahwa mereka adalah orang kafir dan layak untuk diperangi. Bahkan, Allah melarang membunuh seseorang yang mengaku beriman hanya karena kaum muslimin meragukan pengakuannya tersebut.
2. Perintah tabayun dalam surah al-Hujurât ayat 6. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar seseorang tidak bersegera membenarkan berita yang dibawa oleh seorang fasik hingga ia benar-benar meneliti dan mengecek kebenarannya.
Bagi seorang dai atau aktifis dakwah sifat tabayun mutlak diperlukan agar semua tindakannya tidak terjebak pada penilaian buta dan serampangan yang hanya akan menjerumuskan dia dalam kemaksiatan yang sangat besar kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu tidak lain karena seluruh ucapan dan tindakannya akan menjadi contoh oleh masyarakat, sehingga jika penilaiannya yang buruk dan salah itu tersebar maka ia akan menanggung seluruh beban dosa akibat perbuatannya tersebut.
Selain urgensitas di atas, tabayun juga memiliki beberapa keutamaan lain, diantaranya adalah:
1. Menjaga jiwa dan harta manusia.
2. Petanda kematangan akal dan cara berfikir.
3. Menjaga kehormatan dan ketentraman masyarakat dari keputusan yang tergesa-gesa dan tanpa didasarkan pada studi dan penelitian.
4. Menumbuhkan rasa percaya diri.
5. Menjauhkan keraguan serta bisikan dan tipu daya setan.
6. Mengokohkan bangunan sistem amal jama`i.
Penghalang Tabayun
Meskipun begitu penting nilai tabayun dalam diri seseorang tapi masih saja kita sering menemukan kebusukan yang tercium dari mulut yang tergesa-gesa dan tidak mencermati informasi yang datang dari sumber yang bersih dan valid. Di dalam Alquran, setelah menjelaskan pentingnya bertabayun dari berita yang diterima dari orang fasik, Allah `azza wa jalla lalu memperingatkan kaum muslimin dengan berbagai sifat buruk yang diakibatkan oleh informasi sampah itu. Sikap-sikap negatif tersebut dibagi menjadi dua: sifat tercela yang diungkapkan secara terang-terangan di hadapan orang yang dicela --yaitu as-sukhriyyah (mengolok-olok) dan at-tanâbuz bil-alqâb (memanggil dengan gelar yang buruk)—dan sifat tercela yang diungkapkan di belakang orang yang dicela –yaitu sû’uz-zhann (berprasangka buruk), at-tajassus (mencari-cari kesalahan) dan al-ghîbah (menggunjing)--.
Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak melakukan tabayun dan klarifikasi, diantaranya adalah sikap egois dan merasa sudah memahami berita dengan benar, sombong dan merasa lebih tinggi dari sumber klarifikasi, malas untuk mencari kebenaran dan lain sebagainya. Namun, ada sifat lain yang kadang menghalangi seseorang yang aktif dalam dunia dakwah untuk melakukan tabayun, yaitu rasa `athifiyyah (emosionalitas) terhadap sesama aktifis dakwah.
Seorang aktifis dakwah sudah barang tentu akan memiliki rasa emosionalitas yang lebih terhadap saudaranya sesama aktifis dakwah dibandingkan dengan orang lain di luar dunia dakwahnya. Meskipun hal ini sangat penting dan perlu terus ditumbuhkan hanya saja jangan sampai hal itu membuatnya menjadi buta dan menerima begitu saja semua informasi yang diterima dari saudaranya tersebut. Sikap berlebihan inilah yang tidak jarang mengakibatkan sikap tabayun itu menjadi tersisihkan bahkan kadang hilang sama sekali, sehingga ia akan menerima apapun jenis informasi yang diterima dari sesama aktifis tanpa memfilter, mengkros-cek dan menimbang lebih dalam. Namun, ini tidak berarti kita tidak perlu membedakan antara informasi yang diterima dari sesama aktifis dan informasi yang diterima dari luar. Justru, kita tetap menilai bahwa informasi dari sesama aktifis dakwah tentu memiliki nilai kepercayaan lebih tinggi, tapi hal itu tidak boleh dijadikan sebagai harga mati dan kepercayaan buta sehingga menutup pintu untuk melakukan tabayun.
Sebagai contoh, dalam perang Hunain (8 H), Rasulullah saw. memberikan para pembesar Quraisy ghanimah yang sangat banyak tapi tidak memberi sedikit pun untuk kaum Anshar. Karena cukup kecewa dengan pembagian itu, maka mereka meminta Sa`ad bin Ubadah untuk bertanya kepada beliau. Beliau lalu berkata kepadanya, “Bagaimana sikapmu, wahai Sa`ad?” Ia menjawab, “Aku bersama mereka, wahai Rasulullah.” Lalu beliau menyuruh Sa`ad untuk mengumpulkan seluruh kaumnya. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata, “Wahai Anshar, apakah kalian tidak rela membiarkan mereka pulang dengan seluruh ghanimah itu sementara kalian pulang dengan membawa Rasulullah?” Mendengar itu mereka menangis dan menjadi rela dengan semua keputusan beliau. Dalam kisah ini, terlihat bahwa Rasulullah saw. tetap mencari informasi ke sumbernya meskipun beliau telah mendapatkan sebagian informasi itu dari Sa`ad yang merupakan salah seorang sahabat terbaiknya serta merupakan pembesar kaum Anshar dan bagian dari pihak yang merasa kecewa. Di sini, Rasulullah saw. ingin memberikan pelajaran berharga agar kita tidak tergesa-gesa dalam memberikan keputusan demi menjaga keutuhan umat.
Tabayun dalam Kerangka Dakwah
Kehidupan berdakwah merupakan sebuah wilayah interaksi yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kehidupan umum dalam masyarakat. Seorang aktifis akan diikat dengan nilai dan etika tambahan yang dituntut untuk dipatuhi berkaitan dalam kerangka hak dan kewajibannya dalam gerakan itu. Baik qaid maupun jundi memiliki jalinan kuat yang saling mengisi dan melengkapi. Di dalam surah al-Hujurât, Allah SWT secara gamblang menjelaskan hubungan-hubungan itu.
Menurut as-syahid Sayyid Qutub, nidâ’ (seruan) pertama dalam surah al-Hujurât adalah perintah untuk menjadikan qiyadah sebagi sumber petunjuk dan perintah. Kemudian, seruan kedua dalam surah itu merupakan perintah untuk mengikuti adab dan tata cara berinteraksi dengan qiyadah. Sedangkan dalam seruan ketiga, Allah ingin mengajarkan bagaimana cara menerima dan mengambil sebuah informasi, yaitu dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam penerimaan info tersebut. Karena tidak semua berita datang dari sumber yang valid.
Tabayun adalah salah satu instrumen dakwah terbaik dalam menjaga persatuan dan terlaksananya amal jam’i secara utuh demi tercapainya kemakmuran umat dalam naungan ridha Allah. Oleh karena itu, memiliki sifat ini adalah sebuah keniscayaan dan keharusan bagi seorang aktifis dakwah. Dengan tabayun, kita akan diajarkan bagaimana bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menghukumi sebuah persoalan tertentu. Kita pun akan dididik untuk membiasakan meminta pendapat dan nasehat dari rekan atau qiyadah dalam kerangka menjaga keutuhan jamaah.
Selain itu, ada hal yang sangat penting yang dapat dipetik oleh aktifis dakwah jika benar-benar mempraktekkan nilai-nilai tabayun ini, yaitu ats-tsiqah bil-qiyâdah wal jamâ`ah (yakin dengan keputusan qiyadah dan jamaah) terutama dalam era keterbukaan saat ini. Informasi bisa datang dari berbagai sumber bahkan terlihat “berserakan” dimana-mana. Disinilah aktifis dakwah sejati dituntut menunjukkan kematangannya dalam tarbiyah. Seorang jundi tarbawi harus mampu mesterilisasi dan memastikan kebenaran sebuah informasi sebelum keluar dari mulut dan hatinya yang bersih yang kemudian akan dikonsumsi oleh orang lain. Jika ia mendapati sebuah berita miring tentang jamaahnya maka sikap pertama yang harus dilakukan adalah husnuzzhan, lalu diikuti dengan tabayun kepada sumber dan kanal informasi yang bersih dan terpercaya.
Seorang aktifis dakwah harus berusaha untuk bersikap tabayun dalam berbagai hal apalagi jika informasi yang ia miliki tentang permasalahan tertentu masih sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Ini untuk menjaga keutuhan jamaah dan menjaga perjalanan dakwah hingga mencapai tujuannya. Selain itu, sikap tabayun dapat menjaga keutuhan kaum muslimin secara umum dan menjauhkan mereka dari pertikaian serta perselisihan yang hanya akan membuat tubuh umat Islam semakin lemah. Sikap tabayun sangat diperlukan terutama di masa modern saat ini yang telah berkembang di dalamnya sarana telekomunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia berubah menjadi sebuah desa yang kecil dengan begitu cepatnya tersebarnya sebuah informasi ke seluruh elemen masyarakat.
Dengan demikian, tabayun merupakan salah satu sifat dan karakter penting bagi aktifis dakwah dan tarbiyah. Ia harus mampu memindahkan nilai-nilai tabayun dari ranah verbal ke ranah amalan nyata. Amal jama’i yang kita bangun bersama tidak dapat berjalan mulus bahkan mungkin dapat hancur berkeping-keping jika seorang aktifis dakwah tidak berhati-hati dan melakukan tabayun dalam semua urusannya. Pengelolaan informasi yang baik akan menciptakan struktur jamaah yang kuat dan menghasilkan pribadi-pribadi dakwah yang bersih dan saleh. Hadânallahu wa iyyakum ajma`în.
Subhanallaah ijin share akhy, jazakallooh
BalasHapusTrims tadz,
BalasHapusSangat bermanfaat....
BalasHapusSangat bermanfaat....
BalasHapus